Album Review : Sapuan Feses Waria Meledak

Album Review : Sapuan Feses Waria Meledak

Dengan nada-nada absurd dari Sungsang Lebam Telak, lewat komposisi musiknya, tidak bisa dengan gamblang diterjemahkan begitu saja, seperti ketika hal ini diartikan dari sisi psikologis manusia

Ada yang memang harus dimengerti, ada yang tidak. Berputar saja seperti lagu. Argumentasi melodi yang hilir mudik seperti derap ritme lagu dari John Cage yang berjudul “4.33”. Seperti saat diam memandang malam, dengan harmonisasi olah tata suara dalam musik, yang bisa sangat memanjakan telinga atau malah jadi porak poranda, ketika menerkanya dengan pendekatan semiotika rasa. Ditengah durasi lagu muncul pertanyaan tentang ambiguitas yang terlukis dalam setiap nadanya, sebuah pertanyaan tentang bagaimana mengartikan lagu-lagu Sungsang Lebam Telak. Apakah harus hitam atau harus putih? Apakah harus cekung harus cembung?

Dengan nada-nada absurd dari Sungsang Lebam Telak, mungkin apa yang mereka mainkan lewat komposisi musiknya, tidak bisa dengan gamblang diterjemahkan begitu saja, seperti ketika hal ini diartikan dari sisi psikologis manusia, yang tidak semua manusia mampu menerjemahkan manusia lainnya, meski mengejanya mudah saja. Sebuah labirin yang berakhir dititik awal, lalu memulainya dititik akhir. Sebagian mengira hidup untuk bersedih, sebagian lainnya mengira hidup untuk gembira. Padahal tak satu juga dari kita pernah membaca satu kalimat pun dari buku yang ditulisNya. Kita hanya selalu merasa kita adalah tokoh utamanya. Lalu bagaimana dengan kasir dengan senyum ramahnya, yang kita patahkan lewat strata yang dibuat manusia? Apakah bisa hidup terus berjalan tanpa senyum ramahnya?

Masuk ke dalam lagu berjudul “Menyongsong Area Lampu Merah Saat Anus Kembali Menyempit Dua Detik Dalam Perasaan Mabrur”, jarum jam berdetak seiring dengan manusia yang selalu merasa naas. Diberi hidup untuk merasa paling naas. Apakah harusnya bersedih diberi hidup? Apakah harusnya gembira diberi mati? Sebagian mengira ekspektasi adalah biang keladinya, sebagian mengira logika adalah Tuhan baginya.

Lanjut ke lagu berikutnya berjudul “Semburan Diare Langsung Ke Lidah Yang Telah Terpatahkan Oleh Teori Usang Tata-Titi Bersepeda”, yang dimainkan pukul dua lebih tiga puluh delapan dini hari, ketika seseorang berjalan dalam keheningan malam, seiring dengan lagu ini yang sedang berjalan dengan melodi absurd nya, berisi tentang dogma ataupun cara Tuhan bekerja. Apakah dengan karma atau rangkaian cerita drama? Lewat lagu-lagunya Sungsang Lebam Telak, seakan berkata bahwasannya mata yang memandang pikiran yang menghardik semua opini cantik adalah baik. Tapi tidak bagi yang mencintai sunyi. Lewat ambiguitas musiknya, mereka mempertanyakan apakah sunyi itu ada ketika pikiran selalu saja berbicara?

Bersambung

Sumber foto : http://yesnowave.com

BACA JUGA - Suguhan Kenangan Masa Lalu Lewat Musik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner