Film dan Romantisme Soundtrack

Film dan Romantisme Soundtrack

Selain menjadi sesuatu yang memorable, sebuah soundtrack juga bisa melahirkan gelombang baru, yang tentunya berbanding lurus dengan lahirnya budaya kontemporer yang menandai sebuah era

Bicara film, rasanya cukup banyak juga yang dilatari musik sebagai tema utamanya, dari mulai film klasik seperti ''The Sound Of Music'', “Whiplash”, “Frank”, hingga film animasi ''Coco'', yang menjadikan musik sebagai menu utamanya. Keberadaan musik sebagai bagian dari film dirasa penting, baik itu dalam film musikal atau pun film non musikal. Keduanya kemudian sama-sama menghasilkan sebuah masterpiece lainnya di luar perkara gerak dan visual. Adalah soundtrack yang kemudian menjadi yang juga dikenang sebagai bagian dari sebuah film.

Bagi angkatan tahun 2000 awal di tanah air, mungkin tidak sedikit yang kemudian fasih menyanyikan lagu-lagu dari film “Petualangan Sherina”, “Ada Apa Dengan Cinta”, atau mungkin sederet lagu-lagu indie yang akhirnya menginvasi layar lebar, lewat film “Janji Joni” dan “Catatan Akhir Sekolah”. Selain cerita filmnya yang terbilang related dan mengena dengan banyak orang, hal tersebut dikuatkan pula oleh lagu-lagu yang melatari tiap adegan dalam film. Bagaimana ketika Sherina si anak baru yang berhasil membuat mati kutu Sadam, sang ‘preman’ di kelasnya, hal tersebut tentu tidak akan lengkap tanpa lagu “Jagoan” yang merupakan soundtrack dari film tersebut. Atau bagaimana ketika Rangga dan Cinta beradu argumen tentang sesuatu yang prinsipil dengan diselingi lagu dari Pas Band & Tere. Bagi yang mengalaminya tentu hal itu akan menjadi memorable, hingga ketika mengenangnya bertahun-tahun kemudian akan jadi romantisme tersendiri.

Mondo Gascaro, seorang musisi yang juga banyak terlibat untuk urusan musik dalam film pernah menuturkan jika secara proses kreatif, ada kebiasaan-kebiasaan dalam film yang secara prosedurnya melewati beberapa tahapan seperti baca script, editing, sampai akhirnya mendapat picture lock. Dari sana Mondo kemudian menginterpretasikan apa yang dia dapat dari ‘brief’ soal film itu ke dalam bentuk lagu/musik.

“Kalau ada pertanyaan tentang karakter musik yang gue buat untuk film, sebenarnya itu tergantung filmnya, dan gue harus bisa mengikuti pesan filmnya. Kesulitannya justru bukan masalah genre atau style musik itu lagi, tapi lebih kepada masalah-masalah dalam film itu sendiri, yang memang mesti terpecahkan. Kaya misalnya film komedi yang digabungkan dengan drama. Itu kan ada pertimbangan-pertimbangan yang cukup problematis yang mesti terpecahkan, kaya tiba-tiba lucu lalu tiba-tiba sedih. Jadi lebih ke bagaimana gue mengkombinasikan itu. Bukan genre atau style musiknya yang jadi pertimbangan utama”, ujarnya dalam sebuah wawancara bersama DCDC.

Apa yang Mondo utarakan semakin menguatkan jika scoring musik dan soundtrack dalam film melewati berbagai macam tahapan dan tidak asal nempel begitu saja. Satu hal yang kemudian dikuatkan juga oleh pernyataan Melly Goeslaw yang mengaku jika sebelum dia membuat lagu untuk sebuah film, sebelumnya dia pelajari dulu cerita film tersebut. Bahkan, dalam sebuah wawancara yang dia lakukan bersama Soleh Solihun, Melly menuturkan jika dia bisa lebih hafal dialog dibanding pemain filmnya itu sendiri, saking dia seringnya membaca naskah. 

Tidak heran jika tahapan yang diungkapkan Mondo dan Melly di atas kemudian menghasilkan album soundtrack yang dikenang di kemudian hari, jauh dari hari pertama film itu dirilis. Dengan sederet romantisme yang tertuang di lagu-lagu soundtrack tersebut, tidak jarang pula kita jadi tahu era yang terjadi kala film itu dirilis.

Ingat dengan film “Realita Cinta & Rock N Roll”? mungkin bagi yang sempat mengalami era tersebut akan setuju jika Vino G Bastian dan Herjunot Ali (dua pemeran utama di film itu) pernah menjadi rujukan bagi banyak anak muda perihal gaya Rock N Roll, dengan rambut polem dan celana skinny nya. Satu hal yang kemudian bertambah lengkap kala diiringi pula lagu “Ga Ada Takutnya” dari Ipang Lazuardi. “Aku ga mau peduli lagi sama semuanya. Kalau masih manusia aku ga ada takutnya”. Pada eranya lirik lagu tersebut pernah begitu menggema dengan semua darah remaja yang sedang menyala dan menyala(k). Lalu jangan lupakan juga lagu “Ada yang Hilang”, yang sempat didaulat sebagai lagu galau paling ‘laki’, karena meski bertema sedih, namun masih disajikan gagah dengan olah suara Ipang di film tersebut.

Atau masih ingat dengan film “Catatan Akhir Sekolah” (selanjutnya ditulis CAS), yang kemudian membuat nama Mocca dan The S.I.G.I.T melambung di industri musik tanah air. Tak lama setelah film CAS booming (bahkan meraih beberapa awards), The SIGIT mulai sering muncul di hampir semua pentas seni SMA se-Bandung Raya. Begitupun dengan Mocca, yang sukses membuat film CAS identik dengan lagu “I Remember”. Mocca sukses meng-amplify reputasinya kala berhasil jadi pengisi soundtrack film CAS, sekaligus jadi MTV Artist of the Month tak lama sebelumnya. Singkat kisah, dua ikon Bandung ini bahkan banyak disebut-sebut sebagai lokomotif lahirnya era baru musik indie-pop dan indie-rock.

Fakta menarik di atas kemudian menambah catatan penting, di mana selain menjadi sesuatu yang memorable, sebuah soundtrack juga bisa melahirkan gelombang baru, yang tentunya berbanding lurus dengan lahirnya budaya kontemporer yang menandai sebuah era. Selain menguatkan, sebuah soundtrack juga tidak bisa dipisahkan dalam film, di mana perannya tidak hanya sekedar nempel, tapi bagian dari nyawa film itu sendiri.

BACA JUGA - Catatan Kecil Satu Tahun Pandemi dan Ruang Nalar Musisi Bermusik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner