Geliat Hari Musik Nasional Tanpa Panggung, Lawan Pandemi dengan Karya

Geliat Hari Musik Nasional Tanpa Panggung, Lawan Pandemi dengan Karya

Tidak terasa krisis pandemi di Indonesia telah menginjak satu tahun. Secara perputaran waktu memang tidak terasa. Bulan demi bulan dilewati dengan kondisi yang tidak pasti. Berbagai kebijakan berubah setiap saat berbarengan dengan jumlah penderita yang makin bertambah. Status di berbagai zona wilayah berubah warna, layaknya dinamika lampu stopan. Kadang merah, hijau, kuning atau bahkan mati total alias hitam. Tentu, suasana ketidakpastian ini menjadi serangan psikis bagi semua lapisan masyarakat. Terlebih janji program vaksin masih terkatung-katung dan menjadi mainan tarik ulur yang sarat dengan kepentingan politis.

Semua sektor ekonomi benar-benar mengalami goncangan yang hebat. Salah satunya sektor industri musik. Industri musik adalah salah satu industri yang tidak berdiri sendiri. Ada banyak faktor pendukung dan faktor turunan yang terkait satu sama lain. Artinya, jika salah satu faktor tersebut hilang maka akan berpengaruh pada sektor yang lainnya.

Salah satu faktor turunan penting dari industri musik adalah panggung hiburan yang bersifat off air, baik skala besar maupun kecil. Dari festival yang mendatangkan puluhan ribu penonton hingga skala pertunjukan band di kafe dan bar. Selama satu tahun, industri panggung hiburan musik dengan skala besar maupun kecil otomatis berhenti mengikuti aturan dari pemerintah. Dalam hal ini, tentu hasil dari rekomendasi lembaga kesehatan yang khawatir akan potensi penularan dan penyebaran virus apabila panggung hiburan tetap digelar.

Dalam data yang dikeluarkan oleh Badan Ekonomi Kreatif di tahun 2016, subsektor dari bidang musik hanya mencapai angka sekitar 7,59 %, atau setara Rp 4,4 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, pihak Badan Ekonomi Kreatif tetap akan menempatkan subsektor ini menjadi prioritas. Karena pada kenyataannya, film, animasi, dan video; aplikasi pengembang permainan, serta musik bisa mendongkrak pertumbuhan subsektor lainnya. Misalnya, event musik bisa jadi bagian pariwisata dan memiliki efek terhadap sektor lain. Karena tak hanya musisi dan pihak penyelenggara saja yang terdampak secara ekonomi, namun sektor hotel, transportasi, kuliner dan lainnya juga ikut mendapat keuntungan secara tidak langsung.

Hari Musik Nasional yang jatuh setiap tanggal 9 Maret atau bertepatan dengan tanggal lahirnya WR. Supratman di masa pandemi ini akan terasa sangat penuh ironi. Jika biasanya banyak musisi dan band memanfaatkan momentum ini untuk melakukan perilisan karya, tahun ini akan sangat berbeda. Tidak ada lagi panggung-panggung perayaan untuk sekadar berinteraksi dan memperkenalkan karya secara langsung kepada penggemarnya. Namun, berbagai inovasi dan solusi kreatif dilakukan para musisi maupun pihak penyelenggara event menyikapi kondisi pandemi. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan kanal digital sebagai media untuk berekspresi dan promosi yang dinilai paling aman untuk berinteraksi secara virtual dengan penonton.  

Setahun bersama pandemi pada akhirnya berhasil merubah mental para musisi terutama yang benar-benar keras kepala. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan keadaan ekonomi yang sedang lesu daya beli. Sekarang hampir semua musisi berusaha menjaga kewarasan dengan tetap merilis karya-karya terbarunya. Menjadikan koneksi digital dan berpromosi secara virtual adalah pilihan buruk dari yang terburuk. Mereka sudah tidak lagi peduli dengan momentum karena pada akhirnya semua momentum yang ada mendadak lenyap terganjal aturan protokol kesehatan.

Namun, bagaimanapun kondisinya hari ini, Hari Musik Nasional berhasil mengingatkan kita bahwa industri musik tidak hanya bicara bisnis dan bagaimana cara menjual karya. Hari Musik Nasional tahun ini adalah sebuah semangat bagaimana bisa tetap berkarya dan bertahan hingga pandemi ini usai.

Selamat Hari Musik Nasional!

BACA JUGA - Lagu Cinta Melankolis yang (Pernah) Berbahaya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner