ICEMA - Antitesis Sebuah Ajang Penghargaan Bagi Insan Musik Tanah Air

ICEMA - Antitesis Sebuah Ajang Penghargaan Bagi Insan Musik Tanah Air

ICEMA, sebagai sebuah pergerakan (katakanlah seperti itu) atas nama perubahan, bisa memberikan sesuatu yang baru, berisi dan punya nilai lebih

Indonesian Cutting Edge Music Award (ICEMA), ada sebagai sebagai antitesis ajang penghargaan musik semisal AMI (Anugerah Musik Indonesia), yang kadung tercitrakan prestisius, dengan gelaran-gelarannya yang terbilang “wah”, namun (maaf) nir makna. Bagaimana tidak? Dengan calon pemenang yang mudah ditebak, progres musik yang itu-itu saja, yang terasa dikerjakan dengan setengah hati. Contoh kecilnya seperti ketika AMI tidak bisa membedakan genre Punk dan Funk, dengan memasukan kelompok musik Tor yang notabene-nya memainkan musik funk kedalam kategori Punk. Kecil memang, tapi untuk ajang prestisius sebesar AMI itu, jadi terasa kurang, dalam hal kesiapan yang setengah-setengah. Ajang penghargaan musik seperti ICEMA menjadi sebuah tolak ukur perkembangan musik di luar ranah arus utama. Perannya memberikan penawaran lain dari musik yang mungkin jarang tersentuh oleh khalayak banyak.

Bicara tentang musik, maka kita akan bicara sesuatu yang sifatnya relatif, sesuai dengan selera masing-masing pendengarnya. Namun jika harus dikerucutkan lagi jadi sesuatu yang punya nilai lebih, musik menjadi satu hal yang bisa dibagi dalam beberapa kategori dalam sebuah ajang penghargaan. Bentuk apresiasi semacam ini mungkin perlu, untuk menjadi trigger para musisi agar bisa lebih bergairah dalam membuat karya. Meskipun mendapatkan award semacam ini bukan jadi tujuan utama, karena itu hanyalah imbas dari apa yang telah mereka buat, seperti halnya ketika albumnya laku atau panggung mereka dipenuhi banyak orang yang mengapresiasi musiknya.

ICEMA, sebagai sebuah pergerakan (katakanlah seperti itu) atas nama perubahan, bisa memberikan sesuatu yang baru, berisi dan punya nilai lebih. Apalagi dengan menambahkan kata “Cutting Edge” didalamnya. Ekspektasi berlebihan mungkin akan ditujukan untuk ajang penghargaan ini, dan ketika ICEMA pada akhirnya sedikit kewalahan dengan batal terselenggaranya pada tahun 2014, menjadi pertanyaan juga, kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah memang perlu usaha lebih untuk bisa menyeimbangkan pola musik yang ada di Indonesia? Tidak hanya sebatas indie vs mainstream, yang makin hari wacana ini makin membosankan. Atau seberapa penting sampai orang harus tahu betapa kerasnya raungan gitar dari Burgerkill, atau betapa bernilainya syair-syair yang dinyanyikan Semak Belukar dalam lagu-lagunya? tanyakan saja pada David Hersya sang frontman dari Semak Belukar, bagaimana komentarnya ketika grupnya dianugerahi musik folk terbaik oleh ICEMA?

Atau mungkin kita pada akhirnya menyadari jika penghargaan paling tinggi bagi seorang musisi adalah tidak dalam bentuk piala, namun dengan apresiasi dari karya yang mereka buat. Bisa dengan membeli albumnya, atau menonton konsernya?

Sumber foto : http://icema.co.id/

BACA JUGA - Ada Hal Tentang Musik Yang Tidak Lagi Menarik Untuk Dibahas

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner