Pasrah dan Berserah diri Barasuara di Album Ketiga, ‘Jalaran Sadrah’
Sumber foto : Diambil dari siaran pers Barasuara
“Tanpa ada itikad menggurui atau merasa lebih besar, album ini kami serahkan sepenuhnya untuk mereka nikmati dan maknai dengan caranya masing-masing.” Iga Massardi
Setelah melewati perjalanan panjang berikut segala lika-likunya, Barasuara akhirnya kembali dengan album ketiga mereka di tahun 2024 ini. Grup musik rock yang dimotori oleh Iga Massardi ini, melepas album bertajuk Jalaran Sadrah yang dirangkum oleh sembilan materi lagu, termasuk tiga lagu yang sebelumnya telah dirilis terlebih dahulu sebagai nomor tunggal, “Terbuang dalam Waktu” (2023), “Merayakan Fana” (2023), serta “Fatalis” (2022) yang berhasil meraih piala AMI Awards 2024 untuk kategori Duo/Grup/Kolaborasi Rock Terbaik.
Dari gelap kadang lahirlah sesuatu yang terang, untaian kata yang diamini Barasuara dan juga akrab dengan proses lahirnya album ketiga ini. “Jalaran Sadrah artinya karena pasrah. Album ini terjadi, tertulis, terselesaikan karena pasrah,” ujar Iga Massardi (vokal dan gitar) tentang koleksi tembang ketiganya bersama TJ Kusuma (gitar), Marco Steffiano (drum), Asteriska (vokal), Gerald Situmorang (bas) dan Puti Chitara (vokal). “Kita pasrah dalam ketidakberdayaan. Dalam keputusasaan, dalam lemah dan kecilnya peran kita sebagai manusia yang akhirnya hanya bisa menerima takdir dan jalan-Nya.”.
Tak luput dari berbagai macam lika-liku selama proses berkaryanya, Jalaran Sadrah dikerjakan sejak awal Januari 2021. Kala itu, Barasuara tanpa didampingi Manajer maupun perusahaan rekaman yang menaungi mereka, belum lagi fase-fase krusial menuju satu tahun dirongrong pandemi. Akan tetapi masa-masa itu tak mengendurkan langkahnya untuk kembali merangkai album ketiga ini, keenam member Barasuara berkumpul di salah satu Villa di Bogor untuk menulis lagu baru dari nol dan mengembangkan materi yang mereka bawa dari rumah. Sementara, proses bongkar pasang aransemen dan rekaman dilakukan secara berkala hingga berujung pada awal 2024 ini di berbagai studio di Jakarta, termasuk di kantor Barasuara serta kediaman Iga, Marco, Gerald dan TJ.
Mayoritas lirik dalam album ketiga ini masih ditulis oleh Iga Massardi, Jalaran Sadrah berbicara tentang berbagai hal kelam yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti, lagu “Fatalis” yang mengecam disinformasi yang merebak kala korban berjatuhan selama masa pandemi, lalu “Habis Terang” yang merespon genosida kejahatan konflik oleh israel terhadap palestina. “Lagu- lagu di album ini banyak menceritakan tentang kematian dalam persepsi yang beragam. Ada yang merayakan, ada yang sinis, ada yang apatis, ada yang kontemplatif. Lalu ada juga lagu yang menceritakan tentang kepulangan rasa terhadap cinta yang sejati. Secara garis besar, banyak tema yang berkaitan tentang proses hidup, lahir dan menjalankannya.”.
Menembus berbagai eksplorasi dan terobosan, Barasuara akhirnya berhasil melahirkan album mereka yang paling eklektik sejauh ini dengan berbagai hal yang turut menambah warna baru. Dalam album ini, mereka berhasil menghadirkan keterlibatan dua musisi legendaris yakni Erwin Gutawa yang merangkai aransemen orkestra untuk nomor “Merayakan Fana”, “Terbuang dalam Waktu” dan “Hitam dan Biru” yang dieksekusi dengan megah oleh Czech Symphony Orchestra, serta Sujiwo Tejo yang menyumbangkan nyanyian syahdu berbahasa Jawa ke lagu bertajuk “Biyang” yang adem.
Proses berkarya album ini pun akhirnya melahirkan variasi penciptaan lagu bagi Barasuara, sekaligus menunjukkan rasa saling percaya yang sudah tubuh dan terbangun selama lebih dari satu dekade. “Ini album yang paling kolektif pengerjaannya, karena kami sudah sama-sama saling percaya dan tahu warna masing- masing,” kata Gerald. Di samping peran Gerald yang semakin besar dalam menggubah musik untuk Barasuara, “Hitam dan Biru” yang menggugah semangat merupakan komposisi Puti, sedangkan Asteriska menyumbang lirik yang lembut untuk “Biyang” dan “Terbuang dalam Waktu”.
Sejauh apapun elemen terbarukan yang Barasuara sajikan dalam album ini. Benang merah dari perpaduan vokal Iga, Asteriska dan Puti, kombinasi gitar Iga dan TJ, dentuman bass Gerald serta pukulan drum dinamis dari Marco akan tetap membuatnya terdengar dan identik dengan gaya musik Barasuara, baik itu di lagu epik penuh lika- liku berdurasi enam menit lebih macam “Antea” maupun lagu rock yang relatif simpel seperti “Etalase” dan “Manusia (Sumarah)”. Gerald menyimpulkan, “Dengan isiannya masing-masing, memang itu yang bikin bunyinya Barasuara.”.
Barasuara juga menyampaikan bahwa, secara keseluruhan Jalaran Sadrah yang disebut sebagai “kegilaan yang berujung damai” oleh Marco dan “terjang badai bertemu pelangi” oleh Puti adalah pertanda bahwa api dan lentera Barasuara masih menyala setelah 12 tahun berjalan dan belum padam walau terhadang berbagai rintangan. “Album ini menyenangkan, lepas dan memuaskan, walau ada rasa tidak nyaman akibat situasi pandemi yang sangat memusingkan waktu itu,” kata TJ. Asteriska menambahkan, “Album ini bentuk saling menerima, mendukung dan mempertahankan, serta bukti bahwa Barasuara masih bisa berdiri kuat walau diterpa badai.”.
Album ketiga Jalaran Sadrah baru-baru ini sudah dirilis dan bisa dinikmati oleh penggemar musik, termasuk Penunggang Badai (basis penggemar Barasuara). Sejak 21 Juni 2024, Jalaran Sadrah sudah tersedia di berbagai layanan DSPs pada umumnya, seperti Spotify. “Jalaran Sadrah adalah bentuk persembahan kami untuk para pendengar,” pungkas Iga. “Tanpa ada itikad menggurui atau merasa lebih besar, album ini kami serahkan sepenuhnya untuk mereka nikmati dan maknai dengan caranya masing-masing.”
Comments (0)