KARINDING GOES TO EUROPE - Part 1 Portugal
Adalah sebuah kebanggaan bagi kami berkesempatan melakukan rangkaian perjalanan “Karinding Goes To Europe” yang merupakan bagian dari riset kepenulisan buku Sejarah Karinding Priangan dan Ragam Lamellafon Nusantara ini. Ada tiga negara dan tujuh kota yang kami kunjungi, yaitu Porto, Utrecht, ‘s-Gravenzande, Middelburg, Amsterdam, Eindhoven, dan Paris Kecuali di Porto, kami mengunjungi beberapa museum, institusi, dan individu-individu yang sejak tahun 1970an sudah mengoleksi lamellafon Nusantara termasuk karinding, bahkan menuliskannya dalam buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah yang secara berkala dipublikasikan sejak masa yang sama.
Di Porto, kami atas nama Atap Class Indonesia menghadiri dan mempresentasikan paper kami yang berjudul “The Dynamics of Karinding: the Role of Bandung Underground Metal and Punk Music Movement in Generating Karinding as the Traditional Instrument from West Java, Indonesia, and Its Unique Relationship” di ajang konferensi 9th Midterm Conference of the RN-Sociology of the Arts yang digelar di Faculdade de Letras, Universitas Porto, Portugal, tanggal 8 hingga 10 September 2016. Presentasi kami berlangsung tanggal 8 September 2016, menguraikan bangkitnya kembali karinding secara massif semenjak dikembangkan komunitas Ujungberung Rebels yang mengkristal menjadi band Karinding Attack. Karinding Attack menginspirasi lahirnya ratusan grup di Jawa Barat dan lamellafon di seluruh Indonesia. Kini ada sekitar 3000an anak muda memainkan karinding dan dalam berbagai hasrat musik. Mereka juga membentuk pemahaman bersama berdasarkan filosofi dan kearifan lokal waditra ini dan bergerak di ranah pelestarian alam, lingkungan hidup, pendidikan, pengembangan teknologi dan ilmu pegetahuan, serta membangun jejaring ekonomi kreatif di ranah musik ini dengan spirit kemandirian.
Suasana pembukaan 9th Midterm Conference The Sociology of The Art, di Faculdade de Letras, Universitas Porto, 8 September 2016, foto : Mitha
9th Midterm Conference of the RN-Sociology of the Arts sendiri digelar oleh ESA, atau Jaringan Penelitian Sosiologi Seni. Sejak 2000, ESA telah menyelenggarakan konferensi dua tahunan sosiologi seni. Tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk mempromosikan kolaborasi dan pertukaran akademis antara para sarjana seni, untuk mendukung presentasi proyek penelitian baru dan menawarkan inspirasi untuk pengembangan lebih lanjut dari sosiologi seni. Adalah sebuah kebanggaan bagi kami, bisa hadir dan mempresentasikan kajian budaya Sunda di ajang konferensi ini. Presentasi kami ada di sesi diskusi paralel ke dua dengan tema besar “Transglobal Sounds, Migration, Fluxes, and Glocalizations”. Kami sungguh beruntung yang menjadi chair atau moderator sesi kami adalah Paula Guerra, sang ketua konferensi. Alhamdulillah sesi presentasi kami berjalan lancar dan tentu saja bersyukur mendapatkan kesempatan untuk sharing mengenai apa yang menjadi fokus kami bersama para sarjana lain yang memiliki ketertarikan yang sama terutama kepada tema glokalisasi.
Besok paginya, 9 Oktober 2016, kami menghadiri pameran “The Man Who Sold The World : the Post Grunge Exhibition” yang mengangkat tema grunge dan post-grunge. Pameran yang digelar di Perpustakaan Faculdade de Letras, Universitas Porto ini memamerkan banyak sekali buku dan jurnal terkemuka yang mendokumentasikan berbagai periode yang memotret perkembangan ranah musik grunge dan post-grunge di dunia termasuk buku "The Man Who Sold The World, Music, Memory, and Heritage" karya Paula Guerra, ketua konferensi 9th Midterm Conference of the RN-Sociology of the Arts. Di pameran ini juga dirilis tiga buku "Grunge, Music and Memory" karya Catherine Strong, "Route 666, On Te Road To Nirvana" karya Gina Arnold; dan "Death And The Rock Star " karya Catherine Strong dan Barbara Lebrun. Selain itu, ada dua buku lain yang juga dirilis di Casa da Música berkaitan dengan pameran tersebut, yaitu "Network Subcultures Book Series" karya Subculture Network serta "The Punk Readers" karya Mike Dines, Alastair Gordon dan Paula Guerra. Pameran “The Man Who Sold The World : the Post Grunge Exhibition” juga menggelar pemutaran film dokumenter "Crass: There Is No Authority But Yourself" karya sutradara Alexander Oey di di Teatro Rivoli dan ditutup oleh penampilan DJ The Jack Shit dari Chaputa Records.
BACA JUGA - KARINDING GOES TO EUROPE - Part 2 Belanda
Di ruangan perpustakaan itu kami menyaksikan bagaimana gigihnya para akademisi Eropa dalam merumuskan fenomena yang terjadi di kalangan anak uda dan dunia industri musik sehingga melahirkan kajian-kajian ilmiah mengenai ranah musik grunge dari berbagai sudut pandang, mulai dari budaya, sosial, ekonomi, potilik, bahkan teknologi. Puluhan jurnal ilmiah dan buku sudah dirilis oleh para akademisi yang dibaca secara massif oleh masyarakat Eropa dan menjadi dasar-dasar pengembangan kebijakan pembangunan yang tepat bagi pemerintah dan pihak-pihak status quo lain dalam berbagai tatanan elit Eropa sehingga pembangunan dan juga dampaknya menjadi positif bagi masyarakat luas karena ranah ini kemudian hadir dalam segala kompleksitasnya.
Ini tentu saja masih jauh dengan di Indonesia yang mayoritas masih saja hadir dengan stigma atas musik rock, dan tetap saja gagal melihat semua ebagai potensi sehingga ini berpengaruh pada kajian ilmiah yang dipublikasikan. Universitas-universitas masih terpatok pada tema-tema lama yang juga di masyarakat sudah stagnan dan gagal melihat fenomena baru di kalangan naka muda—penggerak perubahan kebaruan di masyarakat. Jika visi universitas masih saja stagnan di sana, gagal melihat dinamika ini maka niscaya akan terjadi kejenuhan dalam publikasi ilmiah. Ini akan berpengaruh kepada kebijakan status quo yang hanya akan menjadi begitu-begitu saja. Akhirnya kebijakan pembangunan pun diam atau jalan di tempat. Dalam kondisi ini, tak ada perubahan terjadi dan mengakibatkan masyarakat muda yang kurang produktif. Lebih buruk lagi kejenuhan akan melahirkan energi negatif yang ujungnya menjadi stigma sosial.
Bersama para kolega konferensi, Vicky dari Berlin, Paula Guerra, dan Leny Rosdiawan, foto koleksi Kimung
Setelah konferensi usai, kami mengeksplorasi Porto. Porto adalah kota tertua di Eropa dan telah diakui oleh UNESCO World Heritage Site tahun 1996 karena ada banyak tempat bersejarah di kota ini. Kota ini menyediakan 6 rute untuk layanan metro (subway dan tram) di dalam kota hingga ke Francisco Sa Carneiro Airport yang terletak 15 km di barat laut Porto. Keunikan kota Porto adalah pada bentuk tekstur tanahnya yang berbukit dan sungai Douro yang membelah di tengah-tengah kota ini. Berjalan kaki di kota ini sangat menyenangkan.
Semenjak tiba di Porto, kami memang didampingi seorang kawan bernama Eko Yuli Handoko. Ia adalah mahasiswa program doktoral yang sejak awal drekomendasi oleh kontak kami di Kedutaan Besar Indonesia di Portugal. Sejak awal saya dan Eko sudah saling kontak dan Eko dengan sangat terbuka memberikan banyak sekali informasi yang kami butuhkan mengenai Porto. Ia mengajak kami mengunjungi tempat-tempat yang menjadi lanskap Porto antara lain, Monumen Boavista, Casa da Música, Mercado do Bolhão, Crystal Palace Gardens, Estação de São Bento, shalat magrib di mesjid Hazrat Hamza r.a. dan makan malam di salah satu restoran dekat Estação de São Bento. Kami juga mengunjungi Gereja Clerigos, jalanan Rua da Santa Chatarina, Majestic Cafe di mana JK Rowling pertama kali menulis buku Harry Potter, Episcopal Palace of Porto, Sungai Douro dan Jembatan Luiz I yang cantik, Ribeira dan Gaia yang terkenal dengan anggurnya, menikmati matahari tenggelam di Sungai Douro di benteng Mosteir da Serra di Pillar, dan menikmati konser jazz di Centro Aliando, alias pusat kota Porto.
Hari terakhir di Porto, 10 September 2016, kami mengunjungi pantai Matosinhos dan Castelo Do Queijo. Matosinhos pantai yang sangat bersih. Kontur pantainya, selain pasir yang sangat bersih, juga didominasi oleh bebeatuan karang indah yang kerap menjadi spot berfoto para turis. Tak lama di sana, kami kembali ke kota dan mengeksplorasi Avenida dos Aliados. Avenida dos Aliados diawali dengan kawasan Liberdade Square atau disebut juga Avenida Freedom Square yang terletak di bawah bukit antara stasiun Sao Bento dan gereja Clerigos. Di sini terdapat tugu King Peter IV. Mendaki agak ke atas, terletak dome konser semalam yang sore ini sudah dipersiapkan unuk konser orkestra, serta Porto City Hall dengan arsitektur yang unik.
Eksplorasi ini bukan tanpa alasan. Perjalanan “Karinding Goes To Europe” ini memang diprogramkan akan dibuat film dokumentasinya di mana kami akan melakukan jam session di landmark-landmark kota yang kami kunjungi. Tentu akan menjadi sebuah film yang cantik jika semakin banyak tempat yang kami kunjungi. Sayang, kami hanya sebentar di Porto dan harus segera mengejar pesawat ke Belanda. Berbeda dengan di Porto yang hanya presentasi karinding di ajang konferensi internasional, di Belanda—dan juga di Prancis—kami murni melakukan riset kepenulisan buku “Sejarah Karinding Priangan” dan “Ragam Lamellafon Nusantara.” Kami menumpang pesawat Transavia jam delapan malam dan tiba di Schipol Airport, Amsterdam, Belanda jam sebelas. Perjalanan dilanjut naik kereta api menuju Utrecht dan tiba di sana pukul satu dini hari.
*Kimung dan Mitha adalah personil band The Devil And The Deep Blue Sea
Comments (0)