Geliat Musik Bali: Kecil, Kuat, Berbahaya
Foto di atas diambil dari situs http://bali.tribunnews.com
Tanpa terasa, tiada dinyana, sebentar lagi kita bakal masuk ke tahun baru 2019. Jika seksama diperhatikan, di skena musik, ada fenomena menarik yang terjadi. Kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja yang tadinya seolah menggiring selera anak muda Nusantara, belakangan tampak berkurang. Terjadi pergeseran kekuatan.
Metropolitan yang selama beberapa dasawarsa berposisi dominan kini pengaruhnya agak melemah. Bali, pulau kecil yang bersebelahan dengan Jawa, mulai angkat bicara. Makin banyak musisi-musisi asal Pulau Dewata yang wira-wiri di konser-konser kelas nasional, kian melimpah paguyuban-paguyuban artis dari Pulau Seribu Pura yang menjadi perbincangan hangat di kancah musik Nusantara.
Jika ditarik sedikit ke belakang, pihak yang pantas "dituduh" paling bertanggung jawab menorehkan nama Bali ke peta musik nasional, tentu saja Superman Is Dead (SID). Bergabungnya trio punk rock ini dengan Sony Music Indonesia serta merilis album fenomenal Kuta Rock City membuat popularitasnya terdongkrak masif, menjangkau penjuru-penjuru Indonesia. Status cult mereka di jagat bawah tanah dalam jangka waktu cukup cepat berubah menjadi “artis nasional”, merangsek masuk ke pusaran arus utama.
Kiprah mencengangkan dari SID ini sontak menginspirasi dinamika kesenian setempat. Mendadak, kehidupan bermusik di Bali menjadi begitu bergairah. Bejibun artis-artis baru muncul. Seniman-seniman era lama juga ada beberapa yang mencoba peruntungannya, turut memeriahkan belantika Dewata. Dua nama yang paling menonjol di skala lokal kala itu adalah Navicula dan Lolot. Dalam skala lokal mereka tergolong veteran, telah bermusik sejak pertengahan '90an, hampir sepantaran dengan SID, dan cukup disegani di daerah sendiri.
Navicula mengikuti jejak SID lalu bekerja sama dengan Sony Music Indonesia, menjadi band kedua yang “go national” dalam makna sesungguhnya. Sementara Lolot—ia adalah pemain bas pertama SID, saat masih bernama Superman Silvergun—sukses besar menghentak atensi publik muda lokal. Ia menerbitkan album bergenre punk rock dengan menggunakan Bahasa Bali sebagai ujaran pengantar. Ini tergolong revolusioner bagi Bali. Belum pernah ada yang melakukannya sebelumnya. Sontak disambut gila-gilaan. Albumnya terjual hingga, kabarnya, 60 ribu kopi. Ditambah dengan jadwal manggung yang duhai padat.
Comments (0)