Masih Relevankah Pansos dalam Dialektika Bermusik?
Kita, manusia itu terlahir dengan insting narsis. Pernah sewaktu menemani istri memeriksakan kandungannya, saya terkagum melihat Tazya, putri pertama saya 14 tahun yang lalu ketika masih dalam kandungan berputar-putar naik turun terlihat dalam layar USG. Dokter kandungan tertawa dan berkata, "Janinnya sehat, Pak dan ingin terlihat, makanya dia berputar putar senang." Ajaib!
Insting kita memerintahkan untuk narsis sejak dalam kandungan, begitu saya menyebutnya. Kemudian bertranformasi menjadi pansos (panjat sosial) dalam sistem sosial pergaulan yang tentu saja tujuan akhirnya adalah sama: “ingin terlihat!”. Sebagai anak daerah yang berkarir dalam bidang musik, tentu tak luput pula saya menyadurnya. Walaupun beberapa kali dalam hati seperti ada yang negor: “Udah deh! Gosah sok kenal, takut bikin malu!”
Kapital itu bermarkas di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Jujur, sebelum adanya 'Rock In Borneo', saya berasumsi hanya beberapa persen dari skena musik di Indonesia yang notice dengan kota ini, mengharuskan saya akhirnya harus membuka jejaring pertemanan sebanyak banyaknya. Tujuannya apa? Mendistribusikan produk dari karya bermusik saya bersama Kapital, mencari cari celah bagaimana agar Kapital bisa berjalan jauh ke depan, mencoba menjangkau untuk menginjakan kaki saya di kota-kota besar di mana industri musik Indonesia telah berkembang.
Qadarullah, saya mencapai mimpi tersebut bersama Kapital. Di era awal, sebutlah 'Bandung Berisik', 'Hammersonic', 'Rock In Celebes', 'Rock In Solo', 'Hellprint' dan 'Radioshow' telah mampu turut andil merepresentasikan karya bermusik Kapital. Yang akhirnya membuat saya kenal dengan banyak orang, menjadikan saluran perkawanan itu menjadi bertambah semakin luas.
Lalu, di mana letak pansos-nya?
Comments (1)