Ketika Semua Kembali ke Rumah
Hanya selang seminggu setelah tidak ada lagi pergerakan di luar rumah karena panggung-panggung ditunda dan Earhouse diliburkan, kami langsung membuat program-program streaming, proposal kegiatan/konten video ke berbagai sponsor. Semua ini dilakukan agar bisa terus menjaga kehidupan kami, tim produksi dan manajemen, serta Earhouse. "Kita hanya perlu tenang. Kamu dan aku ngobrol berdua apa yang bisa kita lakukan di rumah. Hey, ini sudah kita lakukan setiap hari. Tenang saja. Bedanya hanya medianya saja. Tidak ada lagi panggung besar dan semua kembali ke rumah. Yang perlu kamu lakukan adalah menumbuhkan energimu, yang biasa di panggung itu, di rumah. Ayo kita lakukan semua di rumah. Ini tak kalah menyenangkan," ujar Rhesa.
Ya, semua kembali ke rumah. Rumah kami yang mungil ini jangan sampai kehilangan ruhnya. Sekejap, saya kembali bersemangat, mengiyakan beberapa kegiatan, baik itu kegiatan amal maupun komersil, berkolaborasi dengan beberapa teman, belajar mengoperasikan software rekaman sendiri, kembali menciptakan lagu-lagu, menulis lirik, meluapkan isi hati, belajar meditasi hingga belajar mengedit video. Hey, ini mulai terasa asyik.
Setelah enam minggu di rumah saja, hingga saya membuat tulisan ini, saya akhirnya mengerti esensi bermusik bagi saya. Saya telah menemukan bahwa musik itu tumbuh dan ada di dalam diri saya sendiri. Pandemi yang menyebalkan ini seperti mengingatkan kembali bagaimana harusnya saya memperlakukan musik saya, dan pengaruh musik terhadap kehidupan saya, bahwa ternyata musik tidak hanya semata-mata hidup di panggung saja.
Comments (0)