Musik dan Sejarah Panjang Perlawanan Terhadap Ketidakadilan
Musik, sebagai satu medio bahasa yang universal, juga memerankan peran penting dalam setiap gerakan anti-kekerasan. Agresi kekerasan dan segala bentuk keadilan dalam setiap era nyatanya mampu mendorong lahirnya gagasan-gagasan dari setiap musisi untuk bersuara dan menyatakan sikap dengan jelas : tidak boleh ada lagi kekerasan di dunia ini!
Pada penghujung 2023 ini, kita dipertontonkan aksi kekerasan bahkan menuju ke arah genosida dan pembersihan etnik. Lebih dari 10.000 jiwa, setengahnya adalah anak-anak, menjadi korban dari aksi kekerasan yang dilakukan Israel di dataran Gaza, Palestina. Pengeboman dilakukan hampir setiap hari, menghasilkan area yang dipenuhi kerusakan, darah berjatuhan, dan menyisakan rasa kehilangan, dan trauma yang mendalam bagi setiap warga, khususnya wanita dan anak-anak.
Realita yang menyedihkan bahwa di abad modern ini manusia masih menggunakan agresi dan kekerasan untuk memenuhi ambisi politik dan ideologinya, dalam kasus terakhir yang kita sama-sama saksikan bahkan agresi dan kekerasan digunakan untuk merebut sesuatu yang bukan miliknya. Genosida, perang, konflik etnis adalah "neraka", kita sama-sama menyetujui itu dan semua hal tersebut haruslah berhenti sebelum menimbulkan kerugian luar biasa, baik dari segi mental, finansial, dan hak hidup setiap manusia untuk merdeka dan bebas dari tekanan apapun.
Gelombang aksi protes dan pernyataan penolakan aksi kekerasan ini menyeruak semakin keras dalam beberapa waktu satu bulan terakhir ini. Pernyataan sikap penentangan aksi kekerasan ini juga di-amplifikasi oleh keberadaan sosial media. Hampir setiap waktu, kita sama-sama menyaksikan bahwa dunia sedang menyuarakan satu suara yang sama, satu harapan yang sama.
Musik, sebagai satu medio bahasa yang universal, juga memerankan peran penting dalam setiap gerakan anti-kekerasan. Agresi kekerasan dan segala bentuk keadilan dalam setiap era nyatanya mampu mendorong lahirnya gagasan-gagasan dari setiap musisi untuk bersuara dan menyatakan sikap dengan jelas : tidak boleh ada lagi kekerasan di dunia ini!. Leonard Bernstein, seorang komposer dan humanitarian, menyatakan sikapnya atas hal ini ketika Perang Vietnam berkecamuk di medio 1960-an.
“This will be our reply to violence: To make music more intensely, more beautifully, more devotedly than ever before.”
Sejarah mencatat, bahwa seniman khususnya musisi, selalu memainkan peran penting dalam penerjemahan gagasan anti-kekerasan. Beberapa muncul dalam bentuk protes keras nan lugas seperti yang tertuang dalam rentetan lirik Rage Against The Machine maupun anti-thesis perang dan kekerasan yang bisa kita simak dari lirik 'Imagine' milik John Lennon. Berikut merupakan kumpulan lagu anti-perang dan anti-kekerasan ikonik dari era ke era yang menjabarkan gagasan penting tentang bagaimana musisi bersuara tentang dunia yang seharusnya menjadi lebih baik.
1. Bob Dylan – ‘A Hard Rain’s A-Gonna Fall’
Bob Dylan memiliki banyak lagu yang berurusan dengan perang secara lugas seperti ‘Masters of War’ and ‘Talkin’ World War III Blues’, dari album The Freewheelin’ Bob Dylan. Tapi di Album ini juga terdapat satu lagu yang menjabarkan gagasan dan pesan yang sama dalam bentuk yang lebih puitis dan menarik perhatian.
‘A Hard Rain’s A-Gonna Fall’ adalah salah satu lagu protes Dylan akan kekerasan yang mencuri perhatian. Gambaran yang tersebar di sepanjang lagu tersebut menyampaikan pandangan brutal terhadap para korban konflik dan pihak-pihak yang tidak berbuat banyak untuk melindungi mereka.
2. How Does the Grass Grow – David Bowie
Bowie menulis lagu ini sebagai lagu anti-perang dan kritik keras kepada pendidikan tentara perang yang membentuk pribadi-pribadi tak berhati. Bagian chorus “How does the grass grow? Blood, blood, blood!” diambil dari pola pelatihan tentara perang kala itu yang selalu meneriakkan frase tersebut sembari memegang bayonet. Bowie juga memberikan perpektif dari seorang serdadu yang memiliki hati batu dan tak ragu untuk melakukan hal-hal keji.
3. Homicide - Puritan
"propaganda basi, wahyu surgawi dengan bau tengik terasi, jika suci adalah wajib dan perbedaan harus melenyap maka jawaban atas wahyu parang dan balok adalah bensin, kain dan botol kecap”"
Homicide adalah satu entitas yang selalu bersuara tentang ketidakadilan. Puritan adalah salah satunya. Kutipan lirik di atas menjelaskan secara lugas tentang dogma-dogma yang menyesatkan, dogma yang diyakini bahwa ketika satu kelompok lebih baik dari kelompok lainnya, maka kelompok lainnya harus dimusnahkan dengan cara apapun. Ucok pun menutup kesimpulan di lagu Puritan ini dengan lirik "fasis yang baik adalah fasis yang mati,tunggu di ujung jalan yang sama saat kalian mengancam kami". Penggalan lirik inilah kesimpulan utama dari lagu ini, bahwa setiap fasis memang lebih baik tidak ada lagi di dunia.
4. Redemption Song - Bob Marley
Lagu ‘Redemption Song” karya Bob Marley ini ditulis di tahun 1979. Lagu ini berisi gagasan terhadap bangsa Afrika untuk melakukan ‘emansipasi dari mental budak’. Dimana bangsa-bangsa di Afrika dalam sejarah seringkali menjadi korban penjarahan, perbudakan, bahkan paling parahnya adalah genosida dan pembersihan etnik
Ini adalah lagu yang berisi seruan bagi bangsa Afrika, yang baru saja lepas dari perbudakan, untuk melepas mental budak dengan membebaskan pikiran mereka dari rasa rendah diri dan terperintah.
5. Killing In The Name (Rage Against The Machine)
Lagu Killing In The Name adalah lagu dari band revolusioner asal Amerika, Rage Against The Machine (RATM), pada tahun 1992. Lagu ini muncul bertepatan dengan aksi kekerasan rasial dan kebrutalan aparat keamanan terhadap entitas ras tertentu di New York pada tahun 1992.
Zack de La Rocha, Tom Morello, Tim Commerford, dan Brad Wilk memang kerap kali menuliskan tema-tema anti penindasan, kritik terhadap dogma yang selalu menyuarakan superioritas akan satu entitas terhadap lainnya, dan juga kebohongan yang disampaikan penguasa.
Comments (0)